Kompas, Humanora, jumat, 19 Agustus 2005
Surat kepada setan
Oleh putu wijaya
Tiba saatnya menulis
surat kepada setan.
Kenapa negeri ini terus
digerogoti korupsi. Rakyat gampang beringas. Gara-gara kesenggol sedikit bisa
bunuh-bunuhan lalu mengobarkan perang suku. Agama dijadikan senjata. Para
pemimpin kehilangan akal sehat dan suka mengerahkan massa. Budayawan bagaikan
dewa menguraikan kebenaran menurut enak perunya sendiri dan tak ragu
menyembelih presidennya sendiri. Belum lagi para suhu, pakar, petinggi, bahkan
hampr semua profesional sudah berkhianat, tak ada yang sudi berkorban untuk
masyarakat.
Sumpah pemuda, 77 tahun silam
sudah tidak sakti lagi. Zamrud khatulistiwa yang perna diuji bagaikan lautan
senyum ini, kini menjadi daerah angker dengan label cap tak beradab. Anak-anak
sekolah bukannya bersiap jadi generasi pengganti, tapi berantem di atap kereta
api, mempraktikan film laga. Wakil rakyat jor-joran menggelapkan uang Negara,
main tonjok dalam persidangan dan cakar – mencakar dalam pilkada.
Tidak cukupkah segala yang
murahan itu hanya berlangsung dalam layar kaca? Kenapa narkoba jadi
modernisasi, kebejatan jadi atribut gaul dan korupsi jadi usaha? Kanapa menaati
hukum, menghargai orang tua, menjunjung moral, agama, dan tata karma dianggap bodoh
dan kuno?
Para pedagang meyikapi Negara
lebih baik dijarah daripada digerogoti pejabatnya sendiri. Kaum intelektual
juga lebih doyan bertamu ke mancanegara sebab disana hujatannya pada tanah air
mendapatkan mendali. Mereka malah paling rajin mengorek-ngorek pantatnya
sendiri untuk menunjukan betapa baunya bangsa dan Negara ini, sambil malu-malu
menyembunyikan kuku, karena dia masuk perkecualian.
Semuanya itu gara-gara setan.
Setan bertugas menghancurkan dunia membuat manusia menjadi lebih rendah dari
binatang. Di mana ada manusia disitu ada setan. Ada yang bilang setan adalah
karunia, sebuah mekanisme godaan yang bermakna menguji peradaban. Sering
manusia sesumbar beriman, dibalik topengnya yang santun jebul biangnya setan.
Anehnya manusia macam itu selalu lebih mujur dari yang jujur. Yang berdosa jadi
kaya, berkuasa dan berfoya-foya, sementara yang menentang setan, nasibnya terus
termehek-mehek.
Kita tahu siapa setan, meskipun
tidak pernah melihatnya. Setan adalah sumber segala kebusukan dan tidak bisa lagi
hanya menghujat, mengutuk, menggonggong dari jauh terus. Membenci memerlukan
energy, padahal BBM sudah akan naik lagi. Sekarang harus menukar strategi. Kita
sapa setan dengan sopan, hormat, senyum akrab mengandung tawaran, menyiasati
untuk kemudian setelah dia jinak, membekuk dan mengakhiri riwayatnya habis.
Kita canangkan genjatan senjata.
Bernegosiasi untuk berkoalisi, tapi semuanya hanya basa-basi. Tujuan kita
pasti, setan harus mati. Sebaliknya dari kontra, kitaa harus berkolaborasi.
Dengan mengangkat jadi kolega, setan akan mencintai manusia.
Sudah saatnya menulis surat kepada setan.
“kawan sejati, setan yang baik
hati. Dimanapun kini anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari
akhiri permusuhan, kita gotong royong menggarap kesempatan demi masa depan
mapan naka- cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan
curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang memadai. Masa lalu yang tidak produktif
harus diakhiri. Mulai detik ini, mari bahu-membahu, dalam satu barisan yag
padu. Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau Sembilan puluh persen, aku
sisanya. Aku tunggu balasanmy secepatnya, setan!”
Surat aku masukan ke kotak pos
tanpa membubuhkan nama ataupun alamat. Tukang pos pasti tahu kemana harus
dibawa. Kalau toh tukang posnya bego, setan sendiri pasti akan langsung
mengambil surat itu, sebab dia tahu apa yang harus dia lakukan. Namanya juga
setan.
Lalu aku menunggu berhari-hari,
berminggu-minggu, setahun, kalau perlu sampai 30 tahun aku akan tetap menanti.
Ternyata tidak ada jawaban. Aku panik. Jangan-jangan setan menolak. jangan –
jangan dia sudah tahu akal bulusku mau mengguntingnya dalam lipatan.
Jangan-jangan ia sudah di up-grade, hingga tidak bisa lagi dikecoh. Setan akan
selalu lebih hebat dari manusia. Kenapa aku jadi lupa?
Rasa takut mulai menusuk. Sukmaku
mulai bergetar, ngeri kalau-kalua setan menyerang karena terasa terhna. Habis
aku sudahmemperlakukanya seperti idiot. Sebentar-sebentar kalau ada mobil berhenti
didepan rumah, aku panik siap kabur. tapi ternyata itu hanya tetangga yang
menumpang mobil kantornya. Ketakutan makin membengkak. Akhirnya aku coba
mengatasi dengan ekstasi, tapi malah semakin menjadi-jadi.
Dengan panik aku mengunjungi
psikolog. Tapi alumni mancanegara itu mengulangi nasehat basi, aku harus
berfikir positif. Jangkrik. Aku balik ke rumah dan akhinyan berdoa.
“tuhan, ini tidak adil, aku kan
mahluk ciptaanMu. Tak munkin kau tidak mencintai yang Kau ciptakan sendiri.
Lindungi aku. Jangan biarkan setan menang, aku jamin dunia ini akan lebih
indah. Orang tidak perlu mati sebelum masuk surga, sebab dunia bisa kami bikin
jadi surga oleh rasa cinta yang pada dasarnya juga adalah karuniaMu juga!”
Doa membawa ketenangan. Akhirnya
aku pasrah. Cemas sudah membuatku berfikir. Dengan berfikir muncul ide-ide
baru. Takut adalah bagian dari karunia untuk membuat peradaban manusia
sempurna. Waktu itu tukang pos datang, ada surat untuk anda, katanya sambil
tersenyum sopan, selakan diterima. Aku mengurut dada lega, syukurlah akhirnya
tiba. Orang sabar dikasihani tuhan.
Penasaran surat aku buka:
“ kawan sejati, setan yang baik
hati. Dimana pun kini anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta.
Mari kita akhiri permusuhan, kita gotong-royong menggarap kesempatan demi masa
depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan
curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang memadai. Masa lalu yang tidak produktif
harus diakhiri. Mulai detik ini, mari bahu membahu, dalam satu barisan padu.
Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau Sembilan puluh persen aku sisanya.
Aku tunggu balasanmu secepatnya, setan!”.
Putu wijaya, sastrawan.