Sabtu, 25 Juni 2011

PAPER SEX REVERSAL


I.  PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Perkembangan zaman yang semakin pesat memaksa manusia berfikir ekonomis yang selalu beroreantasi pada keuntungan yang besar. Pemikiran ini sejalan dengan prisip budidaya perikanan yang tujuan akhirnya adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini yang mendasari para peneliti untuk menghasilkan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ikan dapat memiliki ekonomis tinggi tergantung terhadap keinginan konsumen dan daya tarik ikan itu sendiri baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Ikan hias akan memiliki nilai jual tinggi ketika ikan tersebut dapat menghasilkan warna dan bentuk yang menarik dan biasanya pada ikan hias yang dapat menghasilkan warna dan bentuk yang menarik adalah ikan jantan. Sedangkan, untuk ikan konsumsi yang memiliki nilai jual yang tinggi adalah ikan betina. Hal ini dikarenakan ikan betina memiliki pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan ikan jantan.
Permasalahan diatas saat ini telah ditemukan jalan keluarnya yaitu dengan sex reversal atau pembelokan kelamin. Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin tunggal). Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat  dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tingkat pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina. Beberapa ikan yang berjenis jantan dapat tumbuh lebih cepat daripada jenis betina misalkan ikan nila dan ikan lele Amerika. Untuk mencegah pemijahan liar dapat dilakukan melalui teknik ini. Pemijahan liar yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kolam  cepat penuh dengan berbagai ukuran ikan. Total biomass ikan tinggi namun kualitasnya rendah.
Hormon yang digunakan untuk membelokan jenis kelamin jantan menjadi betina adalah estradiol-17, esteron, estriol, dan ethynil estradiol. Hormone yang digunakan untuk membelokan jenis kelamin betina menjadi jantan adalah testoteron, 117-α-methyl testoteron, dan androstendion.

1.2. Tujuan
           Paper ini dibuat dengan tujuan agar pembaca dapat mengerti dan memahami lebih jelas mengenai tehnik sex reversal (menghasilkan kelamin tunggal).
 
  
II. SEX REVERSAL

2.1. Sejarah Sex reversal
           Teknik sex reversal mulai dikenal pada tahun 1937 ketika estradiol 17 disintesis untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Pada mulanya teknik ini diterapkan pada ikan guppy (Poeciliareticulata sp.). Kemudian dikembangkan oleh Yamamato di Jepang pada ikan medaka (Oryzias latipes). Ikan medaka betina yang diberi metiltestosteron akan berubah menjadi jantan. Setelah melalui berbagai penelitian teknik ini menyebar keberbagai negara lain dan diterapkan pada berbagai jenis ikan. Awalnya dinyakini bahwa saat yang baik untuk melakukan sex reversal adalah beberapa hari sebelum menetas (gonad belum terdiferensiasikan). Teori ini pun berkembang karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa sex reversal dapat diterapkan melalui embrio dan induk yang sedang bunting.

2.2. Pengertian Sex reversal
           Sex reversal merupakan teknik buatan yang dimaksudkan untuk pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin jantan menjadi kelamin betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan sebelum terdiferensiasinya gonad ikan secara jelas antara jantang dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotif ikan tetapi tidak merubah genotifnya.
 
2.3. Metode Sex reversal
Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi tidak mempengaruhi genotif. Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun sel kromosomnya.  Cara langsung dapat meminimalkan jumlah kematian ikan. Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam dikarenakan perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama. Misalkan pada ikan hias, nisbah kelamin anakan tidak selalu 1:1 tetapi 50% jantan 50% betina pada pemijahan pertama dan 30% jantan 50% betina pada pemijahan berikutnya.
Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin tunggal). Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat  dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tingkat pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina. Beberapa ikan yang berjenis jantan dapat tumbuh lebih cepat daripada jenis betina misalkan ikan nila dan ikan lele Amerika. Untuk mencegah pemijahan liar dapat dilakukan melalui teknik ini. Pemijahan liar yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kolam  cepat penuh dengan berbagai ukuran ikan. Total biomass ikan tinggi namun kualitasnya rendah. Pemeliharaan ikan monoseks akan mencegah perkawinan dan pemijahan liar sehingga kolam tidak cepat dipenuhi ikan. Selain itu ikan yang dihasilkan akan berukuran besar dan seragam. Contoh ikan yang cepat berkembangbiak yaitu ikan nila dan mujair.Pada beberapa jenis ikan hias seperti cupang, guppy, kongo dan rainbow akan memiliki penampilan tubuh yang lebih baik pada jantan daripada ikan betina. Dengan demikian nilai jual ikan jantan lebih tinggi ketimbang ikan betina. Sex reversal juga dapat dimanfaatkan untuk teknik pemurnian ras ikan. Telah lama diketahui ikan dapat dimurnikan dengan teknik ginogenesis yang produknya adalah semua betina. Menjelang diferensiasi gonad sebagian dari populasi betina tersebut diambil dan diberi hormon androgen berupa metiltestosteron sehingga menjadi ikan jantan. Selanjutnya ikan ini dikawinkan dengan saudaranya dan diulangi beberapa kali sampai diperoleh ikan dengan ras murni. Pada kasus hermaprodit, hormon yang diberikan hanya akan mempercepat proses perubahan sedangkan pada sex reversal perubahannya benar-benar dipaksakan. Ikan yang seharusnyaberkembang menjadi betina dibelokkan perkembangannya menjadi jantan melalui proses penjantanan (maskulinisasi). Sedangkan ikan yang seharusnya menjadi jantan dibelokkan menjadi betina melalui proses pembetinaan (feminisasi).


III. KESIMPULAN

Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada terapi langsung hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotif tetapi tidak mempengaruhi genotif. Metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun sel kromosomnya.  Cara langsung dapat meminimalkan jumlah kematian ikan. Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam dikarenakan perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama. Misalkan pada ikan hias, nisbah kelamin anakan tidak selalu 1:1 tetapi 50% jantan 50% betina pada pemijahan pertama dan 30% jantan 50% betina pada pemijahan berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Suwarsito, Hamzah S., dan Dini S.M. 2003. Pengaruh Penambahan Methyltestoteron dalam Pakan terhadap Nisbah Kelamin Ikan Guppy (Poeciliareticulata sp). Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto. [Jurnal Penelitian].

Adam M. F. 2006. Pengaruh Pemberian Pakan Berhormon 17a-Metiltestosteron Pada Dosis 30, 40, Dan 50 mg/kg Pakan Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Luo Han (Cichlasoma Sp). Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Jurnal Penelitian].

Arifin T.M. 2006. Optimalisasi Dosis Hormon Metiltestosteron dan Lama perendaman Benih Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy Lac.) Terhadap Keberhasilan Pembentukan kelamin Jantan. [Jurnal Penelitian].
Jumat, 17 Juni 2011

"Car Free Day hanya sebatas wacana"

Harus menyikapi bagaimana diri ini dengan keadaan kampus, hingga salah satu teman baikku bilang acara “Car Free Day hanya sebatas wacana”.
Kemarin tanggal 17 juni 2011, kampusku tercinta “sebenarnya berat bibir ini untuk mengatakanya” mengadakan kembali acara car free day. Ini acara kedua yang dibuat dikampusku selama saya kuliah disini, tapi untuk pertama kali saya mengikuti acara ini. Saya tidak ikut serta dalam car free day part I, karena pada waktu itu fakultas saya meliburkan diri
“ya, karena alasan yang tak tau kenapa!!!”.
Mendapatkan jarkom sehari sebelum acara ini dilaksanakan selintas dalam pikiranku. Mengatakan bahwa ini adalah
“Kebijakan yang baik yang dibuat oleh salah satu pejabat tertinggi dikampus ini, dengan berusaha mentiadakan beberapa saat kendaraan bermotor pada pukul 06.00 hingga 10.00 WIB”.
Tetapi kenyataanya!!!
“Semua ini hanya patut di jadikan wacana, yang kertasnya dibuang ketempat sampah yang bau busuk”. Buat kebijakan ko malah ngjatuhin harga diri sendiri, politik apa lagi ini!!!
Benar kata soe hok gie, “semua yang berkaitan dengan politik itu tai kucing!!!” (mulai dari yang teri sampai yang kakap sama-sama tai kucing).
Mulanya saya amat mendukung acara ini, dengan semangat saya berangkat dari kosan tepat jam 08:00 pagi untuk mengikuti kuliah jam 09:00. Ini rentang waktu yang lama untuk saya mencapai kampus jika pergi menggunakan sepeda motor. Tapi, berbeda jika saya berangkat dengan berjalan kaki ke kampus. 1 jam mungkin waktu yang cukup mangantarkan langkahku sampai di kampus, sebenarnya 30 menit juga cukup tetapi sengaja saya sediakan waktu 30 menit untuk menghilangkan letih dan mengeringkan keringat. Semua berjalan sesuai yang saya bayangkan ketika melihat didepan masjid kampus terisi penuh dengan kendaraan sepeda motor dan mobil-mobil yang di parkir. Saya tetap lanjutkan perjalanan dengan ditemani sebotol air mineral (bukan teman maupun pujaan hati). Hingga tidak jauh setelah pintu gerbang kampus, saya bertemu beberapa teman sekelas. Tapi mereka membagi dua, ada kaum mayoritas yang berjalan melewati peternakan dan kaum minoritas yang berjalan melewati jalan utama kampus. Saya putuskan untuk mengikuti kaum minoritas karena beberapa hal, meskipun jalan yang ditempuh lebih jauh. Lingkungan kampus benar-benar berbeda tidak seperti biasa yang ramai akan lalu lalang kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat bahkan dijam kerja biasanya angkot masuk ke dalam kampus, tapi ini benar-benar sepi dan banyak mahasiswa yang berjalan kaki “terasa kampus hijau”.
Semua seperti apa yang saya bayangkan bahkan memberi aura positif dipikiran saya mengenai kampus ini, hingga sedikit kejanggalan muncul dengan banyaknya motor yang diparkir dijurusan tata ruang kota. Hal ini tidak membuat saya curiga. Saya berfikir, mungkin teman-teman datang jam 6 pagi atau sebelum jam 6 “pikiran yang lugu”. Tetapi setelah itu kejanggalan lain munjul, lewatnya mobil hitam dengan plat nomor berwarna merah tepat di depan mataku sedangkan jam masih menunjukan pukul 08:30 “Siapa lagi kalo bukan salah satu pejabat dikampus ini”.
Hahhhhhhhhhhhhh…
Ternyata pejabat ga punya muka plus urat malu yang udah putus, atau pejabat ga punya otak yang ga tau bagaimana cara ngebaca jam. Jelas-jelas diperaturan acara ini sampai jam 10:00 WIB baru jam 08:30 udah lewat mana pake mobil rakyat lagi. Atau jangan-jangan jam yang ditangan pejabat itu bukan jam Waktu Indonesia Barat (WIB) tapi Waktu Indonesia Timur (WIT) yang waktunya 2 jam lebih cepat. Kalo demikian bisalah ditoleransi, tapi cuma orang idiot yang pake jam ga sesuai sama waktu dimana dia tinggal. Belum habis rasa kesalku, salah satu temanku bilang “kalo pejabat tertinggi di kampus kita tadi juga pake mobil ketika meninggalkan kampus”.
Hahhhhhhhhhhhhh…
Semua ini terasa bangun tiba-tiba dari mimpi yang indah tanpa ending yang diharapkan atau bagaikan pujangga yang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang, terlihat biasa tapi membuat kecewa dan sakit hati.
Sudahlah, saya anggap semua itu salah satu penyakit jika seseorang telah memiliki suatu jabatan.
Perjalanan kami lanjutkan, dan kembali keanehan benar-benar terlihat, dipertigaan rektorat dan teknik elektro ada beberapa lalu lalang mobil dan sepeda motor. Kalo yang ini buka pejabat atau dosen, melainkan mahasiswa yang mungkin sudah terkena salah satu penyakit para idolanya yang saya sebutkan tadi. Lebih parahnya lagi ketika sampai area fakultas tujuan saya, saya melihat lalu lalang kendaraan bermotor yang semakin banyak, dan lebih banyak lagi yang telah di parkir campurlah punya dosen ada mahasiswa juga banyak. Semua ini seperti pemandangan biasa ngga ada spesialnya car free day dengan hari-hari biasa.
Pikiran saya ya sesuai pepatah “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”
Atasnya begitu ya bawahnya juga ikut, gemana Negara ini ga makin  ancur kalo pejabat yang masih ecek-ecek dan mahasiswa yang belum ada apa-apanya udah punya penyakit layaknya pejabat-pajabat kelas kakap yang ga patut dicontoh.
Bikin kebijakan ya sebaiknya dipikir dulu, kalo ngerasa ga bisa ngjalaninnya mending ga usah bikin kebijakan yang berlebihan atau seandainya bikin kebijakan ga usah ikut berpartisipasi. Biar penyakit busuknya ga ketauan.

Minggu, 05 Juni 2011

Asal Usul Nama Indonesia


Asal usul Nama Indonesia dan sejarah lengkap Indonesia akan dibahas lebih dalam disini.

Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna Politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah SWT pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Hidup Indonesia dan jangan berhenti berjuang karena perjuangan ini belum berakhir.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan arti dari perjalan masa lampau.
Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2004